Yuk Kenali Lebih Dalam Tentang Penyakit Difteri !

Yuk Kenali Lebih Dalam Tentang Penyakit Difteri !

1. DEFINISI DIFTERI

Difteri merupakan penyakit infeksi akut yang terutama menyerang tonsil, faring, laring, hidung, dan adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang pula menyerang konjungtiva atau vagina (Chin, J., J., 2000).

Pada Jurnal Pasarpolis (2017) Penyakit difteri diartikan sebagai penyakit yang menyerang saluran pernafasan atas terutama di bagian laring, amandel, atau tonsil, serta tenggorokan. ketika saluran pernafasan terinfeksi sang virus ini, membran atau lapisan lengket yg berwarna abu-abu akan berkembang pada area tenggorokan sehingga menyebabkan batuk disertai sesak nafas akut yg akan berujung pada kematian. kemudian ada jua resiko pribadi berupa kerusakan jantung dan  syaraf (neuro-damage). 

Sudoyo (2009) mendefinisikan difteri sebagai suatu penyakit infeksi yang sangat menular yang terjadi secara lokal di mukosa saluran pernapasan atau kulit, yg disebabkan oleh basil gram positif Corynebacterium Diphtheriae, ditandai oleh terbentuknya eksudat yang berbentuk membran di kawasan infeksi, serta diikuti oleh tanda-tanda-gejala umum  yang disebabkan sang eksotoksin yg diproduksi sang basil. karakteristik yang khusus di difteri adalah terbentuknya lapisan yg spesial   selaput lendir pada saluran nafas, dan  adanya kerusakan otot jantung dan  saraf.

 dari beberapa definisi di atas dapat diartikan bahwa difteri ialah penyakit infeksi akut menular berbahaya di saluran pernafasan atas yg disebabkan oleh bakteri Corynebacterium Diphtheriae.

2. ETIOLOGI DIFTERI

Penyebab penyakit difteri adalah jenis bakteri yang diberi nama Cornyebacterium Diphteriae. Bakteri ini bersifat polimorf, tak bergerak dan tidak membentuk spora, aerobik serta dapat memproduksi eksotoksin (Sudoyo, 2009). Uji schick merupakan pemeriksaan buat mengetahui apakah seseorang telah memiliki antitoksin (Mansjoer, Suprohaita, Wardhani, & Setiowulan, 2007).

ada 3 jenis basil, yaitu bentuk gravis, mitis, dan  intermedius. Basil dapat membuat (Mansjoer et al., 2007) :

  1. Pseudomembrane yang sulit diangkat, mudah berdarah, dan  berwarna putih keabu-abuan yang meliputi daerah yang terkena; terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan nekrotik, dan  basil
  2. Eksotoksin yg sangat ganas serta bisa meracuni jaringan selesainya beberapa jam diabsorbsi serta memberikan gambaran perubahan jaringan yang spesial   terutama di otot jantung, ginjal, serta jaringan saraf. Minimum Lethal Dose (MLD) toksin ini artinya 0,02 mililiter.

3. MANIFESTASI KLINIS DIFTERI

Gejala diphtheria (Sudoyo, 2009):

  1. Demam, suhu tubuh meningkat sampai 38o Celsius
  2. Batuk dan  pilek yang ringan
  3. Sakit dan pembengkakan pada tenggorokan
  4. Mual, muntah , sakit kepala
  5. Adanya pembentukan selaput di tenggorokan berwarna putih ke abu abuan kotor
  6. Rinorea, berlendir kadang-kadang bercampur darah.

Keluhan serta gejala lain tergantung pada lokasi penyakit diphtheria (Sudoyo, 2009) :

  1. Diphtheria Hidung, Pada permulaan mirip common cold, yaitu pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan.
  2. Diphtheria Tonsil-Faring, Gejala anoroksia, malaise, demam ringan, nyeri menelan. dalam 1-2 hari muncul membran yang melekat, berwarna putih-kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan  palatum molle atau ke distal ke laring serta trachea.
  3. Diphtheria Laring, Pada diphtheria laring primer tanda-tanda toksik kurang nyata, tetapi lebih berupa gejala obstruksi saluran nafas atas.
  4. Diphtheria Kulit, Konjungtiva, telinga, Diphtheria kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan  terdapat membran pada dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Diphtheria di mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema serta membran di konjungtiva palpebra. pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau.

4. KLASIFIKASI DIFTERI

Widoyono (2011) mengklasifikasikan difteri menjadi dua jenis difteri, yaitu:

a) Difteri Tipe Respirasi Difteri tipe ini disebabkan oleh strain bakteri yang memproduksi toksin (toksigenik). Biasanya dapat menyebabkan gejala yang berat sampai meninggal. Difteri tipe respirasi terbagi lagi menjadi beberapa tipe, yaitu:

  1. Difteri hidung (anterior nasal diphteria) Difteria ini umumnya timbul pada bayi
  2. Difteri faucial Merupakan bentuk paling umum dari difteri. Gejala dapat berupa tonsilitis disertai dengan pseudomembran yang berwarna kuning keabuan pada salah satu atau kedua tonsil. Pseudomembran dapat membesar hingga ke uvula, palatum mole, orofaring, nasofaring, atau bahkan laring. Gejala dapat disertai dengan mual, muntah, dan disfagia.
  3. Difteri tracheolaryngeal Difteri laring biasanya terjadi sekunder akibat difteri faucial. Difteri tracheolaryngeal dapat menimbulkan gambaran bullneck pada pasien difteri akibat cervical adenitis dan edema yang terjadi pada leher. Timbulnya bullneck merupakan tanda dari difteri berat, karena dapat timbul obstruksi pernapasan akibat lepasnya pseudomembran sehingga pasien membutuhkan trakeostomi.
  4. Difteri maligna Hal ini merupakan bentuk difteri yang paling parah dari difteri. Toksin secara cepat menyebar dengan demam tinggi, denyut nadi cepat, penurunan tekanan darah dan sianosis. Biasanya penyebaran membran meluas dari tonsil, uvula, palatum, hingga lubang hidung. Gambaran bullneck dapat terlihat, dan timbul perdarahan dari mulut, hidung, dan kulit. Gangguan jantung berupa heart block muncul beberapa hari sesudahnya (FK UB, 2016).

b) Difteri Kutan/Kulit Difteri ini menyerang pada kulit dengan gejala yang ringan disertai peradangan yang tidak khas dan sulit untuk dikenali sehingga seringkali tidak masuk dalam catatan kasus maupun program penanggulangan. Disebabkan oleh strain bakteri toksigenik maupun nontoksigenik. Difteri kutan saat ini lebih sering muncul daripada penyakit nasofaring di negara barat. Hal ini berkaitan dengan alkoholisme dan kondisi lingkungan yang tidak higienis (FK UB, 2016).

5. PEMERIKSAAN PENUNJANG

  1. Pemeriksaan feses mikroskopik: dijumpai kista atau tropozoit.
  2. Pemeriksaan foto rontgen kolon dengan barium enema: gambaran filling defect, namun tidak spesial   buat amoebiasis.
  3. Pemeriksaan sigmoidoskopi atau kolonoskopi: tampak ulkus menggunakan tepi menonjol, tertutup eksudat kekuningan.
  4. Pemeriksaan serologi Yaitu IFA (indirect fluorescent antibody), ELISA, Latex aglutination test dan Cellulosa acetate diffusion

6. PATOFISIOLOGI DIFTERI

Basil hidup dan berkembang biak pada traktus respiratori bagian atas terlebih-lebih Bila terdapat peradangan kronis pada tonsil, sinus dan  lain-lain. tetapi walaupun jaringan basil dapat pula hidup pada daerah vulva, telinga serta kulit. pada daerah ini basil membentuk pseudomembran serta melepaskan eksotoksin. Pseudomembran bisa timbul lokal atau lalu menyebar dari faring atau tonsil ke laring serta semua traktus rerspiratori permukaan sehingga mengakibatkan gejala yg lebih berat. Kelenjar getah bening sekitarnya akan mengalami hiperplasia serta mengandung toksin.

Eksotoksin bisa tentang jantung dan  mengakibatkan miokarditis toksik atau tentang jaringan saraf perifer sehingga ada paralisis terutama otot-otot pernapasan. Toksis pula bisa menimbulkan nekrosis fokal pada hati dan  ginjal, malahan bisa muncul nefritis interstisialis (sporadis sekali). Pemakaian terutama disebabkan sang sumbatan membran pada laring dan  trakea, gagal jantung, gagal pernapasan atau akibat komplikasi yang sering yaitu bronkopneumonia.

7. KOMPLIKASI DIFTERI

  1. Di saluran pernapasan : terjadi obstruski jalan napas dengan segala akibatnya, bronkopneumonia, atelektasis.
  2. Kardiovaskuler : miocarditis yang dapat terjadi akibat toksin yang dibentuk kuman difteria.
  3. Kelainan pada ginjal ; nefritis.
  4. Kelainan saraf ; kira-kira 10 % pasien difteria mengalami komplikasi yang mengenail susunan saraf terutama sistem motorik, dapat berupa : Paralisis/paresis palatum mole sebagai akibatnya terjadi rinolalia (suara sengau) tersedak/sukar menelan. Bisa terjadi pada minggu 1-2, Paralisis/paresis otot-otot mata; bisa mengakibatkan strabismus, gangguan akomodasi, dilatasi atau ptosis yang muncul di minggu 3, dan Paralisis umum  yang dapat terjadi selesainya minggu 4. Kelainan dapat tentang otot muka, leher, anggota motilitas dan  yang paling berbahaya jika tentang otot pernapasan.

8. PENATALAKSANAAN DIFTERI

Pasien wajib  dirawat di ruang isolasi rumah sakit untuk menghindari penularan ke pasien lainnya. Isolasi dapat dilakukan selama 48 jam semenjak hadiah antibiotik hingga tidak lagi menular (Kemenkes RI, 2017). sementara menurut Widoyono (2011) untuk pengobatan sendiri terdapat dua tujuan utama yaitu buat memulihkan pasien asal peradangan serta toksin bakteri itu sendiri. Pengobatan tadi antara lain:

  1. ADS (Antidiphteria Serum), merupakan antitoksin yg dapat mengikat toksin dalam darah. Sayangnya ADS ini tidak mampu mengikat toksin pada jaringan. ADS dapat diperoleh berasal serum kuda. ADS ini diberikan pada suspek difteri tanpa menunggu yang akan terjadi laboratorium.
  2. Antibiotik berupa eritromisin atau penisilin diberikan buat terapi dan  profilaksis. Pengobatan jenis ini diberikan pada suspek difteri dan  kontak perkara menggunakan tujuan buat bisa menekan penularan penyakit.
  3. Kortikosteroid, buat mencegah dan  mengurangi peradangan.

DISUSUN OLEH

Feri ( 09210000008 )

Fenny Aisyah Dzulhizah ( 09210000012 )

Audi Nurauliyanti ( 09210000013 )

Sri Mariyati ( 09210000021 )

Nahda Fathiyah ( 09210000045 )

UNIVERSITAS INDONESIA MAJU

FAKULTAS ILMU KESEHATAN PRODI S1 KEPERAWATAN

2021

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *